![]()
- Multi Proaktif. Com – Medan – Institusi partai politik acap kali menjadi kendaraan ‘konstitusional’ untuk merebut suara pada kontestasi pemilu.
Idealnya partai politik harus menyajikan hal yang menarik bagi ceruk massa yang nantinya akan direbut.
Sederhananya bila anda menjual produk fashion dan lifestyle maka yang harus anda sajikan adalah produk terkini sesuai preferensi target konsumen anda. Menjaga identitas tokoh anda penting, menjaga konsumen loyal anda juga penting, tetapi merebut konsumen potensial tak kalah penting.
Partai-partai, tanpa menyebut salah satu partai, banyak yang lupa akan hal ini. Sudah awam diketahui tiap-tiap partai memiliki mesin dengan karakter yang berbeda. Mesin ini nantinya digunakan untuk menempuh jalan panjang hingga 4 tahun ke depan menjelang pemilu 2029.
Bagaimana mungkin mesin Chevrolet El Camino tahun 50 berkompetisi dengan Lamborgini tahun 2020? Mesin Chevrolet 1950 itu harusnya dipajang sebagai pengingat akan kejayaan masa lalu bukan dipakai untuk berkompetisi hari ini.
Menurut data KPU, generasi millenial dan gen z pada tahun 2024 sebanyak 56,45 persen dan angka ini akan lebih mencapai 60 persen bahkan lebih di tahun 2029.
Pertanyaan kritis yang kita bangun adalah seberapa menarik partai-partai dikalangan anak muda? Lebih dalam lagi, bagaimana partai mampu menghadirkan platform nya secara inklusif di era disrupsi teknologi dan kecepatan informasi saat ini?
Mungkinkah pengurus partai yang tidak lagi muda, menjadi tokoh populer di kalangan gen-z hari ini?
Saya ambil contoh bagaimana peran anak muda dalam menentukan kebijakan bahkan masa depan sebuah negara.
Nepal misalnya di saat negara tidak mampu membendung anak-anak muda, maka pilar-pilar negara tersebut runtuh. Sebagai gantinya anak muda dengan teknologi terbaru, mencari dan memilih pemimpin transisi melalui teknologi.
Terpilihlah Sushila Karki lewat pemilu yang dilakukan anak-anak muda melalui platform Discord, (kompas.com). Inilah contoh peran anak muda menentukan masa depan sebuah negara tidak hanya sebuah partai.
Maka, mampukah partai-partai politik di indonesia hari ini mengambil simpatik para anak-anak muda? Atau pemilu 2029 hanya sebagai ajang seremonial belaka tanpa nilai demokratis oleh karena mayoritas pemilih saat itu tidak ikut memilih.
Tanggung jawab ini tidak hanya tugas oleh negara, penyelenggara pemilu, akan tetapi menjadi tanggung jawab utama partai politik sebagai peserta pemilu.
Dalam (politik) aristoteles mengungkapkan, “Mengenai rezim terbaik, seseorang yang akan melakukan penyelidikan yang sesuai dengannya tentu harus terlebih dahulu membahas cara hidup yang paling layak dipilih. Selama hal ini belum jelas, rezim terbaik pun tentu belum jelas…” (buku ketujuh, bab 1).
Sehingga idealnya partai politik harus mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan keresahan, kegelisahan, keinginan dan impian anak muda.
Anak-anak muda yang berselancar di media sosial, menurut penelitian, memiliki keresahan yaitu tingginya angka pengangguran karena minimnya lowongan pekerjaan. Isu tersebut harusnya menjadi pembahasan di partai-partai politik secara eksplisit, seperti upah layak, pekerjaan digital, ruang digital untuk entrepreuner sampai jaminan sosial.
Permasalahan tersebut harus menjadi bahan bakar mesin partai yang di bicarakan oleh para pengurus dari kalangan muda bukan dari kalangan elit yang sudah mapan.
Hari ini sebagian besar anak-anak muda yang terjun kedalam partai politik adalah mereka yang memiliki privilage atau hak keistimewaan karena orang tua nya yang juga elite partai. Sehingga mustahil keberadaannya itu memperjuangkan keresahan kaumnya, oleh karena dia masuk ke partai politik hanya untuk mempertahankan struktur sosial keluarga nya.
Kita ingin partai-partai politik di indonesia menjadi salah satu instrumen untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bila mayoritas anak-anak muda itu, apatis terhadap partai politik sampai tahun 2029, maka sepertinya cita-cita tersebut ibarat jauh pandang dari api.
Fatah Baginda Gorby Siregar
Akademisi, Pemerhati Sosial Politik ( Irwansyah
