Elwin Tobing, Irvine, AS
Diambil sebagian dari Bab 5 “Membangun Masyarakat Berpengetahuan” dari buku “ *Agenda Transformasi Indonesia* ” yang terbit sebelum 17 Agustus 2024.
Saat ini kita hidup di era ekonomi berbasis pengetahuan dan digital. Namun, mata uang utama untuk bersaing di kedua era tersebut adalah pengetahuan. Meski di era digital penguasaan data penting, penguasaan pengetahuan jauh lebih krusial. Pengetahuan mengarahkan kita untuk memahami data yang diperlukan dan cara menggunakannya untuk menghasilkan inovasi. Siapa yang menguasai pengetahuan, dia yang lebih maju. Sementara itu, pengetahuan dibangun terutama lewat membaca. Membaca untuk belajar, bukan sekadar untuk hiburan.
Salah satu ciri utama masyarakat yang berpengetahuan dan berpikir adalah berkembangnya kultur membaca yang kuat. Masyarakat ini memiliki kebiasaan membaca yang tinggi, baik dalam bentuk buku, jurnal, maupun bentuk lainnya yang resmi. Membaca adalah bagian dari kehidupan sehari-hari dan dianggap sebagai aktivitas yang bermanfaat dan menyenangkan.
Indonesia yang maju hanya bisa dikembangkan oleh dan dibangun di atas suatu masyarakat yang berpengetahuan dan berpikir. Untuk itu bisa terjadi, pertama-tama, kita harus membangun bangsa dengan kultur yang haus membaca. Tanpa itu, Indonesia Emas hanya sebatas jargon. Atau menjadi Indonesia Cemas. Terlebih lagi karena kita dihadapkan dengan realitas pahit: kita dalam keadaan darurat membaca.
*Realitas Pahit*
Hasil tes PISA 2022, yang merupakan tes standar internasional dalam bidang membaca, sains, dan matematika untuk pelajar usia 15 tahun, menunjukkan situasi darurat membaca di Indonesia. Kemampuan membaca dari 75 persen pelajar SMP Indonesia yang mengikuti tes tersebut berada di bawah level 2 dari skala maksimum level 6 (level 1 adalah yang terendah). Ini menunjukkan bahwa mereka belum memiliki keterampilan dasar membaca.
Siswa yang berada di bawah Level 2 sering gagal menyelesaikan tugas yang memerlukan identifikasi ide utama suatu bacaan atau pengambilan informasi spesifik secara langsung dari teks bacaan. Mereka kesulitan memahami konten sederhana dan membuat kesimpulan dasar dari bacaan singkat. Dengan kata lain, 75 persen siswa SMP di Indonesia bisa membaca tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
Ini bukan suatu kebetulan, tetapi sudah konsisten bertahun-tahun. Pada tahun 2013, hasil tes PISA menunjukkan persentase yang sama, hanya sedikit perbaikan menjadi 71 persen pada tahun 2018 (praktis hasilnya sama sejak tes PISA dilakukan tahun 2000). Artinya, minimal 70 persen siswa SMP Indonesia tidak memiliki keterampilan membaca yang memadai untuk mengikuti tuntutan pendidikan lanjutan atau memasuki pasar kerja yang semakin kompleks. Hal ini pada gilirannya akan menjadi penghalang bagi mereka untuk mengakses pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan terampil, yang pada akhirnya memengaruhi partisipasi mereka dalam masyarakat dan perekonomian.
Sekarang, para pelajar SMP pada tahun 2000, 2013, dan 2018 telah menjadi bagian dari angkatan kerja usia produktif. Namun, sulit diharapkan bahwa mereka dapat terlibat aktif dan menjadi produktif dalam dunia kerja. Meskipun mungkin ada harapan bahwa kemampuan membaca mereka akan membaik seiring dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi, persentase peningkatan tersebut mungkin tidak signifikan. Atau, mungkin tidak meningkat.
Dan memang betul. Berdasarkan survei dari OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi) tahun 2019 dalam laporannya berjudul OECD’s Survey of Adult Skills, kemampuan rata-rata orang dewasa Indonesia dalam memahami dan memanfaatkan informasi tertulis sangat rendah. Dari 34 negara, Indonesia menduduki peringkat terakhir dengan 70 persen yang disurvei memiliki tingkat kemampuan literasi level 1 atau kurang. Artinya kemampuan membaca mereka sesuai dengan tingkat usianya sangat rendah, kurang lebih sama dengan situasi pelajar SMP di atas. Ini sudah kondisi darurat.
Seperti yang ditulis oleh Lant Pritchett, survei ini menemukan bahwa “…bahkan mereka yang berpendidikan tinggi di Indonesia tertinggal jauh dari standar global,” dengan rata-rata orang Jakarta yang berpendidikan tinggi (universitas) memiliki keterampilan literasi yang lebih rendah dibandingkan rata-rata pelajar sekolah menengah atas di negara-negara OECD. Masuk akal apabila dalam hasil laporan World’s Most Literate Nations tahun 2016, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara berdasarkan ukuran gabungan literasi dan perilaku literasi.
Dengan sebagian besar dari angkatan kerja berusia produktif Indonesia memiliki kemampuan membaca yang rendah, tidak mengherankan jika laporan baru-baru ini menyebutkan bahwa 10 juta generasi Z di Indonesia tidak bekerja. Sangat mungkin juga ini berkaitan dengan keterampilan membaca mereka yang rendah.
*Miskin Minat Baca*
Selain secara ekonomi, masyarakat kita miskin minat membaca, meski tingkat literasi mencapai 96 persen. Data UNESCO menunjukkan bahwa hanya sekitar 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca tinggi, dan rata-rata hanya membaca 2-3 buku per tahun. Sementara, di negara maju seperti Amerika Serikat, rata-rata orang dewasa membaca sekitar 12 buku per tahun.
Di Jepang, rata-rata 12 buku, Inggris 10 buku, Jerman 9 buku, Finlandia 18 buku, Australia 10 buku, dan Korea Selatan 9 buku. Kita belum bicara perbedaan kualitas buku bacaan tersebut. Perbedaan ini menunjukkan kesenjangan budaya membaca antara Indonesia dan negara-negara maju, yang dapat berdampak pada kemampuan berpikir kritis dan kapasitas intelektual masyarakatnya.
Albert Einstein mengatakan, “Satu-satunya hal yang mutlak perlu kita pelajari adalah cara berpikir.” Membaca buku, terutama yang ilmiah dan edukatif, tidak hanya mengisi otak dengan informasi, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis dan analitis serta memperluas wawasan. Itu krusial untuk meningkatkan kompetensi dalam kehidupan profesional dan pribadi seseorang dan masyarakat.
Budaya membaca yang rendah dapat mengakibatkan masyarakat cenderung meremehkan pentingnya pengetahuan. Ketika seseorang tidak terbiasa membaca, dirinya bisa merasa sudah mengetahui segalanya padahal sebenarnya tidak. Atau, cenderung tidak menyadari ataupun tidak mengetahui apa yang dirinya tidak ketahui.
Kondisi ini dapat menghambat perkembangan pribadi dan juga kemajuan bangsa, sebab masyarakat yang kurang pengetahuan akan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi. Pada akhirnya, itu menyebabkannya sulit bersaing di tingkat global serta tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan.
Jadi sebelum bercita-cita jadi negara maju, kita kembali ke persoalan paling mendasar dulu: ambil buku atau bahan bacaan bermutu, dan mulai kembangkan budaya membaca. Budaya belajar. Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Cina sudah menunjukkan hal itu. Dan negara yang sudah maju duluan juga sudah melakukannya. Kita tidak perlu menemukan roda lagi.
David McCullough, penulis sejarah AS, menjelaskan hal itu secara elegan. Belajar “tidak ditemukan dalam hasil cetak (printout). Tidak dalam sentuhan jari ke telepon pintar Anda. Belajar diperoleh terutama dari buku-buku, dan paling baik dari buku-buku yang sangat bernilai.”
( Ril/Red)