Multi Proaktif.Com – Lombok – Hakim dituntut untuk menggali kebenaran materiil di balik kebenaran formil dalam menghadapi mafia tanah. Hal itu disampaikan Dr Pri Pambudi Teguh SH MH Hakim Agung pada Kamar Perdata Mahkamah Agung (MA) RI pada saat tampil sebagai pembicara tunggal dalam Kuliah Umum dengan tema Perlindungan Hukum dalam Pemanfaatan Lahan, Aset dan Properti untuk Investasi dan Kepentingan Publik” yang dilaksanakan Fakultas Hukum Univeritas Mataram, Kamis (8/09/2022).
Menurutnya tanah merupakan salah satu aset investasi yang bernilai tinggi. Dalam perkembangannya tanah telah menjadi daya tarik baru yang diburu para investor baik investor dalam negeri maupun investor luar megeri untuk memaksimalkan keuntungan.
Pada konteks itulah menurut Pri Pambudi banyak pihak atau oknum yang memanfaatkan kondisi seperti itu untuk mengambil keuntungan. Baik dengan tidak wajar menggunakan cara-cara melawan hukum untuk menguasai dan memiliki tanah atau lahan yang bukan hak atau miliknya, dengan melakukan spekulasi atas dokumen-dokumen formil yang menunjukan kepemilikan hak atas tanah sesungguhnya bukan miliknya.
Kepemilikan yang tidak wajar itu dapat diketahui seperti, ketiadaan alas hak yang menjadi dasar penerbitan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut. Kemudian oknum yang tidak pernah menguasai tanah tetapi dia memiliki sertifikat. Ada trik yang dilakukan oknum tertentu dengan membuat laporan polisi terkait kehilangan sertifikat, kemudian surat keterangan kehilangan sertifikat dari kepolisan. Kemudian dijadikan dasar untuk penerbitan sertifikat kepemilikan hak atas tanah, padahal sesungguhnya oknum tersebut tidak pernah memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Serta berbagai cara dan trik lain dilakukan oknum yang dikenal sebagai mafia tanah tersebut.
Tindakan seperti itu kemudian memunculkan konflik hingga proses penyelesainnya sampai ke tingkat peradilan. Pertanyaannya adalah bagaimana para hakim menghadapi kasus semacam ini?.
Sudah menjadi pengetahuan dan pemahaman para penegak hukum, bahwa dalam penyelesaian sengketa perdata, pembuktian lebih bersifat mencari kebenaran formil, baik itu terkait hak maupun peristiwa. Oleh karena yang dicari adalah kebenaran formil, maka dalam perkara perdata, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat.
Sempurna dalam arti, hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti akta otentik. Sedangkan mengikat dalam pemahaman, bahwa hakim terikat dengan alat bukti akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya sebagaimana Pasal 165 HIR/285 R.Bg.
Umumnya menurut Pri Pambudi para pelaku atau mafia tanah itu memiliki akta otentik yang menegaskan hak atas sebidang tanah yang sebenarnya bukan miliknya. Pertanyaannya kemudian, apa alat bukti lawan yang dapat melumpuhkan akta otentik yang dimiliki oknum mafia tanah tersebut? Apakah alat bukti lawan atau pihak yang dirampas haknya juga harus berupa akta otentik? Selain itu, apakah hakim tetap harus berpegang terhadap kebenaran formil ketika terdapat bantahan atas kebenaran formil tersebut yang didasarkan pada sepekulasi dokumen hak kepemilikan tanah yang disengketakan?
Menghadapi situasi seperti itulah menurut Pri yang juga dosen atau tenaga pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta itu bahwa hakim dituntut menggunakan rasio (akal budi), nurani (hati) dan kebijaksanaannya (wisdom) untuk menggali lebih dalam kebenaran material di balik kebenaran formil.
Hal itu penting karena hakim terikat kewajiban hukum dan moral untuk menjaga dan memastikan kekoherensian antara kebenaran formil dan kebenaran material dalam putusannya.
Kekoherensian antara kebenaran formil dan kebenaran material itu sangat penting, mengingat banyak kasus mafia tanah kebenaran material itu kerap dan sengaja disembunyikan atau dikaburkan di balik kebenaran formil.
Memang diakui, dalam praktiknya tidak mudah menemukan dan membuktikan kebenaran material yang sudah dikaburkan oleh mafia tanah itu, karena mereka para mafia tanah sering membuat kebenaran alternatif atau kebohongan tentang fakta yang sesungguhnya atau kebenaran faktual.
Oleh karena itu, untuk menghadapi dan menangani berbagai kasus mafia tanah itu, Pri Pambudi mengingatkan para hakim tentang perlunya mengetahui beberapa indikasi terjadinya praktik mafia tanah, seperti (i) tidak adanya kelengkapan dokumen hukum atas obyek tanah, (ii) tidak adanya legal rights (recht titel) atau alas hak dalam pemilikan dan penguasaan tanah dan (iii) penyimpangan dalam proses pemilikan atas obyek tanah tersebut.
Indikasi di atas dapat menjadi awal dimulainya penelusuran atau penggalian kebenaran material di balik kebenaran formil yang diajukan oleh para mafia tanah. Gagasan di atas membantu tugas dan kewajiban noral hakim dalam menemukan kebenaran yang menjadi dasar putusan yang berkeadilan. Selain itu pemeriksaan dengan menggunakan indikator di atas dapat mencegah maraknya praktik pemilikan dan penguasaan tanah secara illegal. (DS)