Multi Proaktif.Com – Wartawan tidak wajib mengikuti dan lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Itulah kutipan pernyataan yang ditegaskan oleh Kamsul Hasan, seorang Ahli Pers Dewan Pers saat dirinya hadir dalam diskusi dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekber Wartawan Indonesia (SWI) pada acara Ngopi Bareng baru-baru ini dan banyak dimuat di berbagai media siber.
Penegasan tersebut ia ungkapkan guna menjawab kesalahpahaman tentang kedudukan UKW yang berkembang di kalangan wartawan dan di lingkungan lembaga pemerintahan baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat Provinsi yang menerbitkan peraturan bahwa lembaga pemerintahan hanya menjalin kerjasama dengan wartawan yang sudah lulus UKW dan berasal dari media yang sudah tersertifikasi di Dewan Pers.
“Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia. UKW bukanlah perintah dan atau amanat dari Undang-Undang Pokok Pers. UKW adalah Peraturan Dewan Pers.” tegas Kamsul Hasan, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Kompetensi Wartawan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat itu.
Kamsul Hasan yang pernah dua periode menjadi Ketua PWI Jaya itu juga menegaskan bahwa wartawan yang sudah lulus UKW pun tidak menjamin kualitas jurnalistik mereka lebih baik dari wartawan yang sama sekali belum ikut UKW.
Dari pernyataan ini saja sudah sangat jelas dan tegas, bahwa untuk menjadi wartawan berkualitas dan berintegritas tidak perlu/wajib ikut UKW sepanjang mereka benar-benar melaksanakan kode etik dan status kewartawanannya telah memenuhi standar yang sesuai UU Pers No.40 Tahun 1999.
Instansi pemerintah harusnya jangan lebay hanya menganggap media-media yang terverifikasi dewan pers dan wartawan yang sudah lulus UKW saja yang bisa diakomodir dalam melakukan peliputan kegiatan pemerintahan termasuk dalam hal kerjasama publikasi iklan/advertorial.
Wartawan-wartawan yang belum atau “ogah” ikut UKW juga tidak perlu terbebani bahkan minder alias kurang percaya diri dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Justru mereka yang merasa sudah lulus UKW lah yang punya beban moral lebih banyak karena harus benar-benar menjadi garda terdepan dan tauladan dalam menunjukkan kualitas kejurnalistikannya, bukan malah petantang petenteng merasa “paling ngerti dan hebat” lalu mengacuhkan yang belum/ogah ikut UKW.
Faktual dan terverifikasi itu ibarat nasi goreng yang dikemas dalam box, sedangkan yang tidak/belum faktual dan terverifikasi ibarat nasi goreng yang dibungkus kertas minyak atau daun pisang.. isi sama kemasan beda.
Jika dilihat lagi, penerapan UU kemerdekaan Pers sebetulnya sudah cukup baik untuk melindungi wartawan dan memfasilitasi perusahaan pers sesuai kedudukan dan peranannya, namun entah kenapa harus banyak aturan, sementara implementasi penerapan perlindungan terhadap wartawan dan perusahaan pers seperti jalan di tempat dan bahkan jika kita melihat kasus perkasus yang ada, hanya sekian persen saja yang ditangani.
Pertanyaan lanjutannya adalah, bagaimana pers bisa bersikap independen dan menjadi pilar demokrasi kalau dapat anggarannya dari pemerintah ?
Jadi, daripada pemerintah mau repot-repot digiring memaksakan kehendaknya “meng-iyakan” syarat kewajiban UKW dan membatasi keberadaan wartawan yang belum/ogah ikut UKW, pemerintah sebaiknya urus TKW kita saja. Dengan kata lain “Lindungi TKW dan Abaikan UKW”